Senbonzakura || Keping Kesebelas: Sisi Kiri

White Angel Wings

“Ada dua?”

Kyuhyun mengangguk. Matanya menatap yakin pada sekumpulan petinggi istana yang duduk melingkar mengitarai meja megah di ruang rapat. Belasan pasang mata penuh tanya mengerjap, mulut – mulut tak percaya mulai menggaungkan nada penuh cela.

“Ya. Ada dua.” Sang pangeran yang menduduki kursi di ujung selatan menumpukan wajah pada sebelah lengan. Ekspresi datar dijunjung penuh menimpa topeng keangkuhan. “Aku baru menyadari ini tadi malam.” ―setelah bertemu dia, sebenarnya. “Kuroi Tenshin yang kita lawan itu memang hebat. Tapi yang lebih mengerikan, kenyataaan bahwa orang seberbahaya dia mempunyai pion yang sama tangguhnya merupakan bencana.”

Bangsawan yang menempati singasana pemerintahan di Negara Biru itu kembali mendengungkan suara tak paham. Beberapa malah mulai melontarkan kalimat tak percaya tanpa nada sungkan yang harusnya terselip.

“Saat kalian menghadapi Kuroi Tenshin yang bertangan dingin dalam memainkan dua pedang berbeda warna, itulah sosok Pangeran dari Silla yang sebenarnya.” Kyuhyun meneruskan. Menulikan telinga dari berbagai suara tak mengenakan yang menjadi latar belakang. “Tapi saat dia menjadi begitu ahli dalam memanah, mengamati diatas bukit dengan busur yang dapat mengarahkan anak panah kemanapun, itulah sosok yang lain. Sosok yang memiliki mata elang, pemanah tanpa cela, dia tangan kanan orang itu.”

“―dan bagaimana kau bisa tahu semua ini pangeran? Tidakkah terlalu riskan hanya menduga – duga seperti ini?”

“Aku mempunyai caraku sendiri, Penasehat Jung.” Sang pangeran menghela napas. Sorot matanya berubah tajam saat ini. Penuh determinasi. “Dari pada itu, aku mau kalian semua menyiapkan pasukan terbaik yang kita punya. Tarik seluruh pasukan dari perbatasan, sisakan hanya beberapa untuk memantau. Lalu keluarkan seluruh persenjataan―”

“Tunggu! Tunggu dulu Putra mahkota, apa maksud perkataanmu barusan?” nyaris seluruh yang hadir melebarkan mata penuh kejut. Bias ketakutan mulai merasuk dalam belasan pasang mata yang tertuju lurus pada sosok gagah yang tetap memasang raut angkuh nan datar khasnya di ujung meja.

“Ja-jangan katakan, kita akan berperang melawan Silla dalam waktu dekat ini?”

Cho Kyuhyun mendengus. “Apalagi memangnya? Perjanjian damai sama sekali tak membuahkan hasil. Perang dingin selama tujuh tahun terakhir juga telah menimbulkan korban yang tak sedikit dari dua belah pihak.”

Sang putra mahkota negeri biru bangkit dari kursinya. “Silla akan menyerang kita dari timur. Pertahanan kita yang telah berhasil mereka hancurkan merupakan titik lemah yang bagus untuk diserang. Terlebih, area perbukitan akan mempermudah tentara mereka yang memang ahli dalam bergerilya. Tepat saat purnama penuh di bulan ini ―tiga hari lagi.”

Dia memandang semua yang hadir dengan sorot lelah sekarang. “Percayalah, aku juga ingin membunuh diktaktor kejam itu dengan tanganku sendiri. Karena itu, berikan semua yang kita punya untuk menghalau Silla. Kita Negara besar. Berbeda dengan mereka yang hanya secuil di Semenanjung Korea.”

―tapi Silla mempunyai pemimpin yang luar biasa. Sosok yang rela melakukan apapun untuk kedamaian yang dijunjungnya.

“Kita pasti menang,” ―kita harus menang.


 

.

Senbonzakura

―Aku hanya ingin sebebas ribuan sakura yang terbang bersama angin.

.

KyuMin/Romance/Drama/Colossal Fiction/YAOI/Rated T+

Antara kedamaian yang semu, kejayaan kerajaan yang menaungi, serta cinta yang tumbuh tanpa tahu asalnya. Mana yang akan kau pilih? Cho Kyuhyun, Sang Pangeran Goguryeo, Lee Sungmin, Putra Silla yang agung, bersama cinta mereka yang merekah dalam rengkuhan peperangan.

.

.

.


Jika diibaratkan, pemimpin adalah nyawa suatu Negara.

Dia yang duduk diatas singasana megah adalah orang yang menggerakan kemana seluruh rakyatnya berjalan. Menjadi sosok yang menduduki wilayah paling menawan, sekaligus berdiri paling depan saat ada tangan – tangan tak kasat mata yang berani mengusik. Pemimpin tidak harus menjadi raja, tapi dia yang memegang gelar Raja, haruslah seorang yang menanggung mahkota imajiner di kepalanya.

―jiwa rela berkorban, menjadikan dirinya yang terakhir.

Bagi Hyorin, tidak ada pemimpin yang sanggup membuatnya membungkuk hormat selain orang itu. Besar dalam desa perbatasan dimana konflik senjata menjadi makanan sehari – hari sudah lebih dari cukup untuk membuat perempuan muda itu mengangkat nilai paling buruk untuk orang – orang yang memegang gelar ‘Raja’. Mencemooh rajanya yang dinilai tak sanggup membawa kesejahteraan yang selama ini digaungkannya dalam pidato yang dibacakan di alun – alun kota setiap tahun.

Hyorin tahu dia tidak cukup cerdas untuk menilai kinerja para bangsawan yang duduk di sepanjang singasana pemerintahan. Tapi bukankah rakyat paling jelata merupaka tolok ukur paling jujur dalam menilai pemerintah?

Mereka yang merasakan langsung seperti apa itu penderitaan hidup saat Rajanya tidak pecus menggerakan roda kerajaan ke jalan yang benar. Mereka juga yang harus mengalami ketakutan tanpa akhir saat konflik dan invansi berlangsung. Terbunuh, diperbudak, juga kelaparan. Apapun itu yang hanya berujung pada kematian. Seolah saat hidup hari ini, tidak ada jaminan bahwa besok tubuhmu masih utuh dari sabetan pedang para Hwarang yang berlalu lalang.

Sang dayang tahu, lebih dari itu, dia merasakan. Menjadikannya menilai berdasarkan apa yang insting tubuhnya terima. Lebih nyata, kebencian itu lebih nyata hadir―

“Apa yang kau pikirkan, Hyorin-ah?”

Satu kerjapan mata, dan fokus sang dayang kembali pada sosok Lee Sungmin yang terduduk tak acuh tak jauh darinya. Dua tangan sibuk mengusap pedang hitam legam ditangan. “Tidak ―tidak apa – apa, Pangeran.”

Sungmin terkekeh. “Kau pikir ada yang bisa kau sembunyikan dariku?”

Ada jeda lama sebelum Hyorin menjawab pertanyaan simpel milik pangerannya. Menjadikan perhatian pemuda yang kini menimang sayang pedang panjang ditangannya menjauh sesaat dari sang dayang.

“Pangeran,” Hyorin memulai. Memberanikan diri merangkai apapun kata yang tengah tertahan di tenggorokan. “apa ―bolehkah saya meminta Anda tetap disini?”

“Apa maksudmu?”

“Pangeran!” suara sang dayang meninggi. “Saya mohon tetaplah berada di Silla. Biarkan saya ―saya janji akan membawa kemenangan pada pangkuan Anda. Jangan pergi, saya mohon.”

“Berhentilah memikirkan hal yang tak penting.”

Pemuda berambut hitam sebahu itu berdiri kini. Dua tangannya masing – masing menggenggam pedang berlain warna. Disini kanan berwarna perak bersih, berkilau penuh keangkuhan saat matahari yang nyaris tenggelam diluar memantulkan sinar sewarna topaz pada bilah tipisnya yang panjang. Satu tangan yang lain menopang pedang yang sama panjangnya, hanya permukaan gelap sewarna malam yang membedakan. Pedang hitam khas Kuroi Tenshin yang melegenda. Yang dipangkalnya terukir pahatan rumit naga gagah bersemburat kemerahan. Dengan aksen emas dibeberapa bagiannya. Pedang kematian bagi para prajurit yang pernah merasakan panasnya medan laga.

―Menjadikan dua tangan itu bagai malaikat yang bersisian dengan iblis.

“Sudah pasti aku yang akan memimpin pertempuran melawan Goguryeo.” Sang pangeran berujar tanpa ragu. Suaranya mengalun dalam, penuh determinasi tak terbantah. “Nitou-ryuu (aliran pedang ganda) ini yang akan memimpin. Juga mempersembahkan kedamaian bagi Silla ―bagi semenanjung Korea.”

“Apa Anda yakin, Pangeran?” Hyorin berujar, bias kesedihan terdengar dari suaranya yang lirih. “Anda terlihat berhubungan baik dengan Pangeran dari Negeri Biru tersebut.”

Sungmin tersenyum. Satu lengkungan bibir yang tak bisa dibaca maknanya bahkan oleh Hyorin yang berada disisinya lebih dari satu dekade. “Hubungan baik tidak akan merubah apapun. Selama belum ada yang berdiri di puncak, perebutan kekuasaan itu masih akan terus berlanjut.”

“Jangan naïf, Hyorin-ah.” Sosok gagah itu menghela napas kini. Menyarungkan dua pedang kebanggaannya pada sarung yang bersilang dipunggung. “Kau yang paling tahu bagaimana tabiat Raja kita saat ini. Baginda Raja ―ayahku tidak akan berhenti sebelum bendera Silla menjadi satu – satunya yang berkibar.”

“Saya tahu anda bukan seseorang yang bersedia diperintah. Sekalipun itu oleh Yang Mulia Raja.” Hyorin masih berusaha. Kali ini berdiri dan melangkah mengikuti sang Pangeran.

“Lalu kau pikir aku melakukan ini semua karena perintah?” Pengerannya terkekeh saat ini. “Beliau memang Raja yang kejam. Tidak segan menghancurkan satu desa jika itu demi kepentingan dan keselamatan Silla.”

“Pangeran―”

“Tidak, Hyorin-ah. Ini bukan karena perintah. Ini aku yang setuju dengan pandangan Yang Mulia. Aku setuju ―aku mengerti tidak akan pernah ada kedamaian jika ada lebih dari satu penguasa di Semenanjung Korea. Baekjae sudah menjadi bagian Silla. Hanya tinggal Goguryeo.”

Hyorin menatap nanar Lee Sungmin yang kini melangkah memasuki istal. Menuntun kuda putih kesayangannya dan segera menungganginya cepat. Membuat Hyorin harus mendongak untuk mempertemukan matanya dengan sepasang hazel yang berkilat yakin.

“Kau tahu? Sebenarnya aku tidak peduli siapa yang akan memenangkan pertarungan esok hari. Silla.. Goguryeo.. pemenangnyalah yang akan membawa kedamaian itu pada seluruh Semenanjung Korea ―dan itu cukup bagiku sebenarnya.” Sungmin memberi jeda.

Sekarang menatap Hyorin dengan kepalan tangan kanan yang menyentuh dada. “Tapi Hyorin-ah. Aku membawa nama Silla di pundakku. Aku besar dibawah ajaran dan idealisme negeri ruby ini. Seburuk apapun, Silla adalah negaraku. Tanah kelahiranku yang akan kujaga dengan segenap jiwa. Aku mencintai Negara ini lebih dari nyawaku sendiri, karenanya, aku akan membawa kemenenangan bagi kita.

Aku bersumpah akan membuat bendera Silla menaungi seluruh Semenanjung Korea. Meski harus mati. Aku akan menang. Aku tidak akan pernah rela melihat Negara yang kucintai berlutut dibawah nama lain. Aku adalah Silla.”

Dayang kepercayaannya terdiam saat mendengar rangkaian kata sang tuan.

“Begitu juga pangeran Goguryeo itu. Dia tidak akan menyerah. Goguryeo kuat ―dan tidak ada seorang Pangeran pun yang rela jika Negara yang ditanggungnya diluluh lantahkan. Harga diri Negara ada dipundak kami. Membelanya sampai mati adalah suatu kehormatan.”

Pangeran berambut sewarna arang itu kembali tersenyum. Menatap Hyorin dengan mata cokelat lembut miliknya. “Ucap sumpahmu, Hyorin-ah.”

Hyorin mengerjap. Sebelum berdiri tegak. Determinasi berlahan tumbuh di pancaran matanya. Menghapus ragu yang sebelumnya membayang.

“Saya Kim Hyojung bersumpah atas nama Silla yang agung. Nyawa saya adalah untuk Silla.” Dia memberi jeda, kini mengangkat dagu tinggi penuh kebanggaan. “Pangeran, mohon ijinkan saya untuk mendampingi Anda esok hari. Titipkanlah punggung Anda untuk saya jaga.”

Pengerannya tersenyum puas. Kini bersiap menarik kekang kuda miliknya. “Tentu saja, Hyorin-ah. Bukankah sudah menjadi tugas seorang wakil untuk menjaga punggung kaptennya? Aku selalu menitipkan punggungku padamu.”

.

.

.

“Ibarat sayap ini adalah sisi kiri ―dan langit tak perlu menunggu lebih lama, karena saat sang kanan terbangun, dia akan segera bergabung dengan dua sayap yang mengembang penuh kegagahan.”

 

By Ryusei Aki Dikirimkan di Stories